KM, Jakarta- Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Ronny F.
Sompie, mengkonfirmasi kebenaran penangkapan Imam Syafei, 21 tahun, oleh Densus
88 di Desa
Kebarongan, Kecamatan Kemranjen, Banyumas. Imam Syafei ditangkap
saat sedang berada di warung di Jalan Raya Buntu.
Syafei merupakan lulusan MTs Kebarongan, Kemranjen. Desa
Kemranjen juga merupakan tempat tinggal Panglima Sayap Militer Jemaah Islamiyah
(JI) Abu Dujana. Syafei sendiri merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara
pasangan Slamet Raharjo, 65 tahun, dan Musrifah, 62 tahun.
"Anak saya mulai berubah sejak suka membaca
buku-buku karangan Abu Bakar Baasyir," kata Slamet Raharjo, Ahad, 18
Agustus 2013.
Ia mengatakan, anaknya sering diperingatkan untuk tak
membaca karya-karya Abu Bakar yang saat ini dipenjara di Nusakambangan itu.
Namun anaknya bergeming dan terus membaca buku-buku sarat nuansa Islam garis
keras itu.
Masih menurut Slamet, Syafei berkenalan dengan
teman-temannya melalui Internet. Syafei juga diketahui sering pergi
meninggalkan rumah tanpa berpamitan.
Ia merasa tabiat anaknya berubah sejak beberapa bulan
terakhir. Bahkan, kata dia, Syafei pernah pergi dari rumah selama empat bulan
dan baru pulang saat puasa kemarin.
Syafei ditangkap Densus 88 karena diduga terlibat
perencanaan pengeboman Kedutaan Besar Myanmar dan vihara Buddha. Ia ikut
pelatihan membuat bom yang dilatih oleh Sepriano alias Mambo.
Imam juga melakukan latihan militer (I'dad) di Gunung
Salak, Jawa Barat, Januari 2013. Ia diduga menjadi pencari dana untuk halaqoh
yang dipimpin Rohadi.
Desa Kebarongan selama ini dikenal dengan warganya yang
taat beribadah. Di desa itu juga ada Pondok Pesantren Wathoniyah Islamiyah,
yang salah satu alumnusnya bernama Saefudin Zuhry.
Saefudin merupakan kaki tangan Noordin M. Top. Ia yang
merancang tempat persembunyian Noordin di Cilacap hingga bisa menikah lagi dan
mempunyai anak dengan salah satu gadis di Cilacap.
H. Muchrojin, 69 tahun, tokoh Desa Kebarongan, Kecamatan
Kemranjen, yang juga mantan guru sejarah di Pondok Pesantren Wathoniyah
Islamiyah, mengatakan pondok tersebut berdiri tahun 1878. "Soal kurikulum
sudah ikut pemerintah sejak tahun 1970-an," katanya. (www.tempo.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar